PPDB sistem zonasi: Banyak problem di lapangan, Kemendikbud bentuk satgas
Oleh : Ilham Akbar Fauzi,Amd.Kom
Implementasi sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) dinilai menimbulkan banyak problem di lapangan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) membentuk satuan tugas (satgas) untuk menindaklanjuti berbagai temuan dan evaluasi selama pelaksanaan zonasi tahun ini.
Seorang ibu di Solo, Sri Lestari, cemas dengan nasib putrinya, Nabila Cikal Ariyanto yang masih menunggu pengumuman PPDB jalur prestasi, setelah sebelumnya tidak lolos dalam PPDB reguler.
Padahal, jarak rumahnya dengan SMU yang dipilih hanya 1,2 km dan anaknya termasuk siswi yang berprestasi.
“Nilainya juga 33, jadi rata-rata 8 lebih, bisa tidak diterima di sekolah terdekat dengan rumah,” ujar Sri Lestari kepada BBC News Indonesia, Rabu (03/07).
“Padahal, ketika terlempar dari SMA 7 sudah tidak bisa diterima di zona selanjutnya, karena sudah terisi dengan yang terdekat dengan sekolah itu,” imbuhnya.
Lain lagi cerita Dwi Setyarini.
Anaknya yang berusia enam tahun sembilan bulan “terpental” dari tiga sekolah dasar di dekat rumahnya di Cibubur yang dia daftar.
Sementara sekolah-sekolah itu mewajibkan siswa barunya berusia minimal tujuh tahun.
“Rada kecewa sih harusnya yang umum dulu diduluin. Andai kata yang umum dulu mungkin yang zonasi bisa ditekan. Maksudnya yang dekat-dekat bisa diprioritaskan. Soalnya ini kan berubah-ubah ya, dari umum ke lokal, lokal dulu terus umum,” ujarnya.
Merujuk pada problem dan kendala yang dialami dalam sistem zonasi di daerah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) membentuk satuan tugas zonasi pendidikan yang “akan melakukan pendampingan kepada pemerintah daerah untuk perluasan akses dan pemerataan mutu”.
Ini artinya, penerapan sistem zonasi pada PPDB akan ditindaklanjuti dengan pemenuhan jumlah sekolah, pemerataan infrastruktur, serta sarana dan prasarana.
Selain itu, pemenuhan, penataan, dan pemerataan guru.
“Jadi masalah PPDB yang terjadi tahun ini tidak terjadi lagi tahun depan,” ujar Staf Ahli Mendikbud bidang Regulasi Chatarina Muliana Girsang.
Problem di lapangan
Lebih jauh, Chatarina menjelaskan, berdasarkan evaluasi yang dilakukan Kemendikbud dalam implementasi zonasi, pemerintah daerah tidak menghitung terlebih dulu jumlah kebutuhan dalam penetapan zonasi.
Selain itu, banyak temuan calon peserta didik yang lokasi rumahnya dekat dengan sekolah tidak lolos, sementara yang jauh justru diterima.
“Lalu banyaknya pemalsuan KK (kartu keluarga). Ini yang kita akan evaluasi permasalahan tersebut. Lalu, tidak memperhitungkan sekolah swasta yang ada. Lalu banyak yang tidak tertampung, lalu didiamkan. Ini banyak yang tidak dapat sekolah,’ jelas Chatarina.
Kartu keluarga menjadi salah satu syarat utama sistem zonasi. Domisili calon peserta didik ini berdasarkan alamat pada KK yang diterbitkan paling singkat satu tahun sebelum pelaksanaan PPDB.
KK ini bisa diganti dengan surat keterangan domisili dari rukun tetangga atau rukun warga yang dilegalisir oleh lurah atau kepala desa setempat.
Terdapat tiga jalur dalam PPDB tahun ini, yakni jalur zonasi, jalur prestasi, dan perpindahan tugas orang tua atau wali.
Melalui jalur zonasi, sekolah negeri wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili sesuai zona yang ditetapkan oleh pemerintah daerah.
Metode ini menggunakan radius terdekat dengan titik pusat zona pada masing-masing jenjang pendidikan yang memenuhi akreditasi A atau B di atas rata-rata nasional.
Namun ternyata, meski masuk dalam radius dekat sekolah, putri Sri Lestari justru ‘terlempar’ dari zona dan kini nasibnya terkatung-katung.
“Karena dia sudah merasa dekat dengan sekolah, bisa jalan, kok tiba-tiba terlempar begitu saja. Nilainya juga bagus. Padahal sekarang ujian untuk mendapatkan nilai 8 susahnya bukan kepalang,” ujarnya.
Akhirnya, dirinya menempuh cara alternatif menempuh jalur prestasi dengan mendaftar di SMAN 6 Surakarta.
“Masih ada harapan tapi dia juga di posisi terakhir. SMA 6 lebih jauh jaraknya, hampir lima kilometer,” jelas Sri.
“Anak saya kalau nggak dapat sekolah negeri di Solo malah kepengennya nggak sekolah,” katanya.
Serupa, Yuli Harsasi yang mendaftarkan anaknya di sekolah menengah negeri yang berjarak 3,3 kilometer dari rumahnya juga terpaksa gigit jari setelah anaknya tidak lolos.
“Kenyataannya ketika kami mendaftar itu efektif yang diterima dari zonasi murni, sampai hari ini 0.0 km – 1,7 km. Jadi mungkin domisili tiga kilometer seperti anak saya ini tidak bisa masuk ke sekolah manapun,” jelas Yuli.
Dia pun mencoba jalur lain yakni menggunakan jalur prestasi di luar zonasi dan prestasi dalam zonasi. Namun nyatanya anaknya tak lolos.
“Prosesnya membingungkan, begitu kita masuk zonasi program PPDB sewaktu-waktu harus cek posisi nilai anak,” ujarnya.
“Akhirnya saya ambil keputusan, ambil [sekolah] swasta saja,” kata dia.
‘Kastanisasi sekolah’
Pengamat Pendidikan Itje Chodijah memandang masalah-masalah ini muncul karena apa yang dia sebut sebagai “kastanisasi sekolah”, yakni ketika pemerintah daerah hanya fokus pada pengembangan pendidikan di sekolah-sekolah favorit saja.
“Terus terang saja, walaupun tidak tertulis, adanya kasta sekolah-sekolah favorit membuat kepala daerah tergiur membuat sekolah itu sebagai etalase daerah,” katanya.
Hal itu kemudian membuat perhatian kepala daerah kepada sekolah-sekolah lain tidak optimal.
Dia memandang, kebijakan zonasi ini bertujuan untuk pemerataan kualitas pendidikan.
“Kebijakan zonasi ini mempunyai jangkauan yang cukup besar, yaitu nantinya maka kepala daerah akan lebih tahu tentang daerahnya, mengurusi guru akan lebih mudah, serta akses dan kualitas yang penting di tiap daerah akan lebih mudah dengan adanya zonasi,” jelas Itje.
Staf Ahli Mendikbud bidang Regulasi Chatarina Muliana Girsang menjelaskan dengan dasar zonasi ini maka tim implementasi zonasi akan melihat kebutuhan per zona di tiap pemerintah daerah untuk per jenjang, termasuk mutu dan jumlah guru.
“Karena bisa saja tiap zonasi keperluan tiap gurunya berbeda. Misalnya, untuk jenjang SD di zona 1 kota Surabaya itu memerlukan guru Matematika, sementara di zona 2 membutuhkan guru sains. Itu juga dalam rangka pemenuhan kebutuhan guru per mata pelajaran,” ujar Chatarina.
Tindak lanjut kebijakan zonasi
Sebelumnya, Kemendikbud telah memetakan sebanyak 2.580 zona di 34 provinsi seluruh Indonesia.
Selanjutnya, kementerian membentuk tim satuan tugas (satgas) zonasi untuk terus mendorong pemerintah daerah (Pemda) dalam melaksanakan sistem zonasi pendidikan di sekolah.
Chatarina menjelaskan satgas ini nanti tidak hanya akan membantu pemerintah daerah dalam menangani proses pendaftaran peserta didik baru, namun juga membantu menyinergikan pelatihan guru di daerah untuk peningkatan kualitas layanan dan mutu pendidikan.
“Kita melihat dari zonasi yang ada, walaupun kita sudah memiliki zona mutu, zonasi PPDB yang dibentuk oleh pemda itu belum semua menyerahkan penetapan zonasinya. Itu yang nanti kita akan harmonisasi baru akan terukur mana sekolah yang ada mutunya, mana yang belum. Dari situ kita akan melakukan intervensi peningkatan mutu,” jelas Chatarina.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengusulkan agar kebijakan zonasi pendidikan segera diatur dalam Peraturan Presiden.
Peningkatan aturan ini dimaksudkan untuk menghadirkan sinergi yang lebih baik di pusat dan di daerah.
Chatarina menjelaskan peraturan ini akan mengatur bagaimana sekolah-sekolah di luar pembinaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk masuk dalam sistem zonasi itu.
“Jadi sekolah di bawah Kementerian Keagamaan, sekolah swasta, walaupun mereka tidak ikut jalur PPDB, sehingga pemerintah daerah berapa lagi sekolah negeri yang harus dibangun,” kata dia.
Dengan zonasi pendidikan itu, lanjutnya, setiap kegiatan pemenuhan standar intervensi harus berdasarkan kebutuhan per zonasi.
Selain itu, kebijakan itu juga mengatur keterlibatan kementerian lain di lapangan, seperti membangun aksesibiltias ke sekolah, seperti jembatan dan jalan.
“Nah ini kan kita harus minta bantuan Kementerian PUPR untuk membangun infrastruktur,” ujarnya.