Indonesia Lahir Batin
Agustus bulan kemerdekaan. Saya bersyukur bulan Agustus tahun ini bisa mentafakkuri hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, di tanah suci Mekah. Sabtu, 17 Agustus 2019, bertepatan dengan 16 Dzulhijah 1440 H., jamaah haji Indonesia baru saja menyelesaikan rangkaian manasik haji. Dan, sebagian jamaah sudah ada yang mulai pulang ke tanah air.
Kamis, 1 Agustus saya berangkat dari Pendopo Kabupaten Lebak, dilepas oleh Bupati, Hj. Iti Octavia Jayabaya, menuju Pondok gede, untuk kemudian diterbangkan ke kota suci Mekah. Sebuah kota yang penuh dengan nilai-nilai teologis.
Kepergian ini dalam rangka melaksanakan tugas sebagai Tim Pemandu Haji Daerah (TPHD) dari Bupati Lebak dan Gubernur Banten. Saat mengikuti penguatan koordinasi penyelanggaraan Haji antara Kemenag dengan Pemerintah Daerah, saya menerima penegasan dari Direktur Bina Haji Kementerian Agama, Khoirizi H Dasir, bahwa TPHD bertugas membantu petugas kloter untuk membina, melayani dan melindungi jama’ah.
Saya bergabung bersama petugas yang lainnya dalam kloter JKG 59, baik sesama TPHD, maupun TPHI, TPIHI, dan TKHI. Keseluruhan petugas berjumlah delapan orang. Kekompakan dan kebersamaan antar petugas, saling memafhumi dan memaafkan atas keterbatasan dan kekhilafan masing-masing dapat mengoptimalkan tugas utama petugas yang selalu diendapkan dalam setiap dada sanubari petugas, yaitu membina, melayani dan melindungi jamaah. Dengan tag line, tugasku ibadahku.
Ziarah di Jannatul Ma’la Mekah.
Setelah mendampingi jamaah, melaksanakan umrah wajib, karena memang jamaah mengambil haji tamattu, para petugas kemudian menghantar jamaah yang ingin melihat langsung ke lokasi pemotongan hewan untuk bayar dam. Selesai pemotongan, salah seorang sahabat sesama petugas, mengajak saya untuk berziarah ke makam Syaikh Nawawi al-Bantani.
Tentu saja saya sangat senang dan segera meresponnya. Teringat beberapa tahun yang lalu, saya pernah diminta untuk menulis tentang biografi dan karya-karya Syaikh Nawawi al-Bantani. Sebelum memulai untuk menulis, saat itu saya menyengaja untuk ziarah ke Tanara Banten sambil membawa keluarga.
Syaikh Nawawi adalah ulama asal nusantara, tepatnya di Banten, yang berkiprah di Mekah. Selain mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan kepada para murid-muridnya, Syaikh Nawawi juga dari Mekah mengobarkan semangat kemerdekaan melalui jamaah haji yang pulang ke tanah air dan melalui karya-karya nya yang besar, banyak mempengaruhi pergerakan perjuangan rakyat dalam melawan penjajah.
Salah satu murid Syaikh Nawawi adalah KH. Hasyim Asy’ari. Melalui Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari berjuang dalam pergerakan kemerdekaan melawan penjajah dan mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia. NU juga kemudian, mengisi kemerdekaan dengan menjaga keutuhan NKRI, mengawal Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika. Hingga kini, NU terus konsisten mengedepankan komitmen kebangsaan, termasuk menangkal rongrongan dari gerakan ideologi transnasional.
Ternyata, pada hari itu pula, saat ziarah di makam Syaikh Nawawi al-Bantani. Saya mendengar kabar, akan wafatnya guru bangsa, KH. Maimun Zubair. Seorang ulama yang faqih dan alim, yang selalu berdakwah menyampaikan nilai-nilai Islam dengan penuh hikmah. Setelah dishalatkan di masjidil haram, jenazah KH. Maimun Zubair kemudian dimakamkam di maqbarah jannatul ma’la.
KH. Maimun Zubair, ulama Nahdlatul Ulama yang berpengaruh luas di Indonesia. Syarh-syarhnya dalam menginterpretasi teks-teks suci sejalan dengan diskursus keindonesiaan. Almghfurlah, sering menyampaikan bahwa PBNU, kepanjangannya bukan hanya Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, namun juga Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945.
Pengelolaan Haji Indonesia.
Setelah ziarah dari Ma’la, kemudian saya bersama teman-teman petugas kembali ke hotel untuk melaksanakan pembinaan kesehatan dan bimbingan manasik jamaah sebagai bentuk persiapan pelaksanaan Arafah, Muzdalifah dan Mina (Armuzna). Pada waktunya, kami mulai bergerak ke Arafah, wukuf. Kemudian didorong ke Muzdalifah. Selanjutnya berpindah ke Mina, hingga melaksanakan rangkaian jumrah, ada yang nafar awal, ada pula yang nafar tsani. Dan kemudian thawaf ifadhah.
Menjalani proses dan tahapan pelaksanaan manasik haji. Saya terkagum-kagum dengan manajemen pengelolaan haji yang dilaksanakan oleh pemerintah kita. Melibatkan banyak pihak, antar kementerian, termasuk hubungan luar negeri dengan pemerintah Arab Saudi.
Ini berimplikasi pada optimalnya pelayanan terhadap jamaah haji. Negara hadir dalam membina, melayani dan melindungi jamaah. Baik itu, dari ketersediaan konsumsi, kamar hotel, transportasi, maupun keamanan jamaah. Saya menjadi teringat mengenai sejarah panjang dinamika manajemen pengelolaan ibadah haji dari era kemerdekaan sampai sekarang.
Saya menggunakan perspektif Hukum Islam. Ada tiga istilah dalam bahasan studi hukum Islam, yang saya gunakan dalam melihat pengelolaan haji Indonesia. Pertama, term syariah dalam pengertian luas, bahwa segala sesuatu itu sesuai dengan ketentuan Allah Swt yang ada dalam al-Quran. Terdapat ayat-ayat yang menjelaskan tentang haji.
Kedua, term fiqh, yaitu hasil nalar para mujtahid yang mengurai penjelasan tentang haji, tentu saja tetap bersandar kepada term syari’ah di atas. Narasi tentang haji tersebut biasanya terdapat dalam kitab-kitab fiqh yang di dalamnya membahas tentang haji. Baik kitab-kitab fiqh klasik maupun kontemporer.
Ketiga, term Hukum Islam, maksudnya, setelah dari syari’ah, kemudian fiqh, maka produk ijtihad mengenai haji itu diregulasi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Optimalnya penyelenggaraan haji yang saya lihat dan alami, ini berpijak pada UU
No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Termasuk regulasi haji di daerah. Seperti di Kabupaten Lebak, memiliki Perda nomor 4 tahun 2012 tentang Pembiayaan Transportasi Jamaah Haji. Pemerintah Kabupaten memfasilitasi jamaah calon haji, mengenai keberangkatan dan kepulangan dari daerah ke embarkasi/debarkasi.
Inilah, sedikit dari sekian banyak faktor yang membuat saya yakin bahwa Indonesia adalah negara yang berpijak pada teks suci al-Quran. Bersumber dari nilai-nilai luhur agama. Indonesia, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Saya bangga menjadi Indonesia. Indonesia yang lahir dan batin. Bukan menjadi warga yang hanya sekedar menikmati fasilitas yang disuguhkan oleh Indonesia, tapi masih berharap atau bahkan ada yang merongrong secara terorganisir ingin mengganti dasar dan bentuk negara Indonesia.
Di hari peringatan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 74, mari kita jaga Indonesia dari godaan “kiri” dan “kanan”. Bersyukur atas
kemerdekaan, dengan mengawal Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika sebagai bagian dari bentuk kepatuhan totalitas kita kepada Allah Swt.
Wallahu ‘alam bi al-Shawab.
Dr. Iyan Fitriyana (TPHD Banten)
Mekah, 16 Agustus 2019